Sumber Berita :
Home »
Surat Kabar
» Hindari Konflik Pengusaha dan Buruh
Hindari Konflik Pengusaha dan Buruh
Pemerintah tidak boleh lepas tangan dengan menyerahkan persoalan upah buruh kepada kalangan pengusaha dan pekerja atau buruh. Pemerintah harus bertanggung jawab karena selama ini rumitnya penentuan standar upah oleh pengusaha dan buruh dipengaruhi inefisiensi ekonomi dan tingginya kebutuhan hidup.
Pendapat itu disampaikan Managing Director Econit Advisory Group Hendri Saparini kepada Suara Karya, di Jakarta, Kamis (2/2).
Hendri Saparini mengatakan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bisa mengantisipasi dengan turun tangan langsung menangani permasalahan hubungan industrial, khususnya terkait upah, antara pengusaha dan pekerja/buruh. Pemerintah tidak bisa membiarkan pengusaha dan pekerja/buruh terus berkonfrontasi dan bertengkar karena bisa merugikan perekonomian nasional.
Ia menambahkan, ketidakmampuan pengusaha mengikuti ketentuan upah minimum yang ditetapkan di kabupaten, kota, dan provinsi terjadi akibat kebijakan pemerintah sendiri yang kerap mendorong ekonomi biaya tinggi dan inefisiensi bidang ekonomi.
Pemerintah juga menjadi pihak yang paling disalahkan ketika upah yang diterima buruh ternyata tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta kebutuhan lainnya. Dalam hal ini, pemerintah seharusnya bisa menjamin harga bahan pangan pokok bisa terjangkau serta biaya pendidikan, layanan kesehatan, dan ongkos transportasi yang murah. Jika ini dipenuhi, maka kalangan pekerja/buruh bahkan sudah bisa menyisihkan uangnya untuk ditabung.
"Kesejahteraan atau kehidupan yang layak bagi pekerja/buruh tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengusaha yang mempekerjakan mereka. Pemerintah dan negara juga harus berperan," kata Hendri.
Menurut dia, tuntutan kenaikan upah oleh buruh/pekerja juga terkait beban hidup yang makin berat. Terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan, sandang, dan rumah tempat tinggal. Belum lagi biaya transportasi yang masih menjadi beban yang harus ditanggung pekerja dan keluarganya.
"Harga pangan yang mahal serta biaya pendidikan, kesehatan, dan transportasi yang tinggi menjadikan upah yang diterima buruh/pekerja saat ini tidak ada artinya. Seharusnya kondisi ini bisa dicermati pemerintah. Jangan lantas menyalahkan pihak lain, baik pengusaha maupun pekerja. Jika gaji yang diterima buruh atau pekerja bisa mencukupi, tentunya tidak ada tuntutan kenaikan upah setiap tahunnya," ujarnya.
Hendri lantas mencontohkan negara-negara yang jarang terjadi aksi demo buruh yang menuntut kenaikan upah. Seperti Malaysia, selain upah pekerjanya yang relatif tinggi dan mencukupi, Pemerintah Malaysia juga sangat memperhatikan harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan dan kesehatan, serta sarana transportasi yang murah.
"Sebaliknya, hal ini tidak dilakukan Pemerintah Indonesia. Buruh/pekerja masih harus menanggung beban kehidupan yang berat karena pendapatannya tidak mencukupi, sementara pengusaha juga tidak bisa memenuhinya karena harus menanggung beban ekonomi biaya tinggi," ucap Hendri.
Sementara itu, pejabat Sementara Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) Mathias Tambing mengatakan, masih banyak permasalahan di bidang ketenagakerjaan yang belum terselesaikan, di antaranya tingkat upah yang belum ideal serta sistem kontrak kerja dan alih daya (outsourcing) yang hanya merugikan pihak pekerja.
Masalah ini lantas terus berkembang mengikuti dinamika perekonomian nasional dan global, termasuk perubahan regulasi bidang ketenagakerjaan yang memang harus terus dikawal agar tidak mengarah pada sesuatu yang hanya merugikan pekerja. Apalagi, selama ini perhatian pemerintah terhadap nasib buruh/pekerja masih tergolong minim.
"Ini mewajibkan K-SPSI untuk terus mengawal peraturan yang diterbitkan dan mengawasi implementasinya. Selain masalah upah minimum, juga ada putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Permohonan Pengujian UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya masalah outsourcing. Pelaksanaannya memang harus terus diawasi, karena di lapangan faktanya tidak diperhatikan oleh pengusaha dan pengawas dari pemerintah," katanya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Djimanto mengatakan, pemerintah pusat harus mengawasi pemerintah daerah yang sering mengintervensi dewan pengupahan dalam menetapkan upah minimum, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
"Kinerja dewan pengupahan itu sebenarnya sudah efektif. Di mana mereka melakukan survei setiap tiga bulan sekali, lalu dicocokkan dengan mekanisme yang ada," katanya.
Menurut dia, Apindo mendorong semua pihak untuk menghormati segala keputusan yang sudah ditetapkan. Jadi, keputusan di dewan pengupahan pun akan dihormati karena di dalamnya juga beranggotakan perwakilan buruh/pekerja, pengusaha, pakar, ahli statistik, dan lainnya.
"Buruh pun sebaiknya tidak berpikir negatif dulu jika ada perusahaan yang meminta proses penangguhan pelaksanaan upah minimum yang baru. Karena jika perusahaan itu terbukti tidak mampu, maka produksi akan terbengkalai dan dampak terbesarnya adalah PHK (pemutusan hubungan kerja) ke seluruh pekerja," tuturnya.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar mengatakan, kondisi hubungan industrial di Indonesia akhir-akhir ini berjalan sangat dinamis. Untuk menjaga agar suasana tetap kondusif dan menjaga momentum pertumbuhan serta stabilitas perekonomian dan juga iklim investasi yang kondusif, maka serikat pekerja dan pengusaha harus mengedepankan dialog dalam mengatasi setiap permasalahan. Selain itu, kedua pihak juga diharapkan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum serta mengganggu keamanan dan ketertiban umum.
"Hubungan industrial yang harmonis di perusahaan yang melibatkan serikat pekerja dan pengusaha mempunyai peran penting dalam mewujudkan iklim investasi yang kondusif, sekaligus sebagai langkah yang strategis dalam menciptakan lapangan kerja guna mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan," katanya.
Menurut Muhaimin, prinsip-prinsip dasar untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis dan kondusif, antara lain saling menghargai serta saling menghormati peran masing-masing. Selain itu juga ada keterbukaan antara manajemen dan pekerja/buruh.
"Komunikasi dan dialog yang dipadukan dengan niat baik dibutuhkan dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, sehingga tidak merugikan kedua belah pihak atau masyarakat umum," tutur Muhaimin.
Dia menjelaskan, pekerja dan pengusaha dapat melakukan negosiasi mengenai hak dan kewajiban masing-masing, dan tentunya dengan mengedepankan musyawarah.
Sumber Berita :
Sumber Berita :
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website
Ikrar Anggota :
IKRAR ANGGOTA SPSI :
1. Kami Anggota Serikat Pekerja Seluruh Indonesia adalah Pekerja Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Kami Anggota Serikat Pekerja Seluruh Indonesia adalah Pekerja Indonesia yang setia kepada Pancasila dan UUD 1945, serta taat kepada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
3. Kami Anggota Serikat Pekerja Seluruh Indonesia adalah Pekerja Indonesia yang selalu siap mempertahankan persatuan dan kesatuan Bangsa.
4. Kami Anggota Serikat Pekerja Seluruh Indonesia adalah Pekerja Indonesia yang beretos kerja Produktif, Jujur, Disiplin dan Bertanggung Jawab.
5. Kami Anggota Serikat Pekerja Seluruh Indonesia adalah Pekerja Indonesia yang siap bertekad mengembangkan kemitraan dalam Hubungan Industrial.
1. Kami Anggota Serikat Pekerja Seluruh Indonesia adalah Pekerja Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Kami Anggota Serikat Pekerja Seluruh Indonesia adalah Pekerja Indonesia yang setia kepada Pancasila dan UUD 1945, serta taat kepada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
3. Kami Anggota Serikat Pekerja Seluruh Indonesia adalah Pekerja Indonesia yang selalu siap mempertahankan persatuan dan kesatuan Bangsa.
4. Kami Anggota Serikat Pekerja Seluruh Indonesia adalah Pekerja Indonesia yang beretos kerja Produktif, Jujur, Disiplin dan Bertanggung Jawab.
5. Kami Anggota Serikat Pekerja Seluruh Indonesia adalah Pekerja Indonesia yang siap bertekad mengembangkan kemitraan dalam Hubungan Industrial.