
Pernyataan Pangdam Jaya Mayjend TNI Waris yang siap mewakafkan diri untuk menghadapi demonstrasi buruh terus menuai kecaman. Kali ini kecaman datang dari Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI). Mereka menilai pernyataan yang dilontarkan Jenderal Bintang Dua itu merupakan bentuk fasisme.
"Ketika kebebasan untuk menyatakan pendapat dan perjuangan atas hak-hak demokratis sudah diancam oleh aparat militer, maka ini adalah bukti bahwa tidak ada demokrasi di Indonesia. Dalam pandangan kami, inilah wujud nyata apa yang disebut sebagai fasisme terselubung (silent facisme)," kata Ketua Umum GSBI, Rudy HB Daman, melalui keterangan tertulisnya, Jumat (3/2/2012).
Rudy menjelaskan, fasisme secara esensi adalah tindakan kekerasan militer yang dilakukan oleh kapitalis monopoli dunia untuk memaksakan kehendaknya, baik secara terselubung maupun terang-terangan. Tindakan militer ini bisa dilakukan oleh mesin-mesin negara melalui kapitalis, birokrat, mulai dari presiden, TNI/Polri, gubernur, hingga bupati di seluruh wilayah Indonesia.
Dia berpendapat, kembalinya keterlibatan dan campur tangan TNI dan Polri dalam sengketa perburuhan merupakan setback (kemunduran drastis) dari proses reformasi di tubuh TNI/Polri yang memang belum tuntas. Sehingga, menimbulkan kesan bahwa kehadiran TNI/Polri dalam sengketa perburuhan dan juga konflik agraria yang belakangan ini meningkat lebih cenderung menjadi pengaman operasi investasi asing ketimbang pelindung masyarakat dan menjaga kedaulatan bangsa.
Aktivis buruh itu menyatakan, dalam kasus meningkatnya gerakan buruh dalam perjuangan upah 2012, pemerintah melalui kesepakatan yang dibuat bersama dengan Serikat Buruh (SB), telah memaksa kaum buruh untuk menghentikan aksi-aksi pemogokan karena dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban umum serta merusak iklim investasi di Indonesia.
Padahal, rencana aksi buruh tersebut ditujukan untuk mendesak Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Tangerang untuk membatalkan gugatan mereka atas revisi upah Propinsi Banten, khususnya Tangerang Raya yang meliputi Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang yang telah didaftarkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Serang.
Untuk itu, GSBI mendesak Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar segera mengambil langkah untuk memberikan perlindungan kepada kaum buruh Se-Tangerang Raya dimana pada 1 Februari 2012 telah mencapai Kesepakatan atas revisi upah di Propinsi Banten. Kemudian, memastikan bahwa kebijakan tersebut sungguh-sungguh dilaksanakan dengan baik oleh perusahaan-perusahaan di Propinsi Banten.
Selain itu, mereka juga meminta Muhaimim mencabut Peraturan Menteri (Permen) 17/Thn/2005, Keputusan Menteri (Kepmen) 231/Thn/2003. Lalu, merombak total Sistem Pengupahan dan Dewan Pengupahan di Indonesia serta mencabut berbagai regulasi yang masih melanggengkan politik upah murah yang dinilai merugikan buruh.
GSBI juga mendesak Pemprov Banten agar serius Mengawasi Pelaksanaan SK Gubernur Nomor 561/KEP.I-HUK/2012 tentang Penetapan Upah Minimum Kota/Kabupaten Se-Propinsi Banten Tahun 2012 dan Pengaturan Upah Minimum Sektoral Tangerang Raya, dengan tidak mempermudah pemberian ijin penangguhan pelaksanaan upah tahun 2012 di Banten.
Bukan hanya itu, mereka pun berharap Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono memberikan subsidi kepada seluruh buruh yang perusahaannya melakukan penangguhan pelaksanaan upah minimum tahun 2012. Kemudian, menuntut Presiden SBY segera mengambil tindakan konkrit untuk menghentikan segala bentuk dari tindak kekerasan, intimidasi, teror, penangkapan sewenang-wenang, pemenjaraan dan penembakan terhadap rakyat yang memperjuangkan hak-haknya.
"Kami menyerukan kepada seluruh organisasi serikat buruh /serikat pekerja dan pejuang HAM serta para pejuang demokrasi untuk menggalang persatuan untuk memberikan dukungan bagi perjuangan ribuan buruh Tangerang Raya serta mengecam keras atas pernyataan Pangdam Jaya tersebut," pungkas Rudy.