Sebuah kabar mengejutkan datang dari buruh perkebunan di Sumatera Utara. Mengejutkan, karena upaya buruh-buruh disana untuk mendapatkan upah sesuai UMK, justru dihadapkan pada permasalahan baru. Mereka mendapat tekanan dan intimidasi. Jika tekanan itu datang dari pengusaha atau penguasa, itu sudah biasa. Tetapi jika tekanan itu dilakukan oleh perangkat organisasinya sendiri - yang seharusnya ikut membela dan memperjuangkan hak-hak mereka - tentu kasus ini menjadi istimewa dan layak mendapat perhatian kita semua.
Berawal dari Resolusi Bersama Forum Pekerja/Buruh Perkebunan Sumatera Utara tentang penolakan terhadap ‘kesepakatan bersama mengenai upah pekerja perkebunan pada perkebunan swasta anggota BKS-PPS di Provinsi Sumatera Utara tahun 2011′, yang pada intinya menyatakan bahwa upah minimum buruh kebun Sumut adalah Rp 1.090.425,-/bulan, atau lebih rendah dari upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur Sumut sebesar Rp 1.156.000,- (Kab. Batu Bara) dan Rp 1.170.000,- (Deli Serdang).
BKS-PPS adalah semacam Apindo untuk perkebunan swasta yang ada di Sumatera. Kesepakatan bersama untuk membayar upah lebih rendah dari UMK, dibuat secara sepihak oleh BKS-PPS dengan Pengurus Daerah FSP Pertanian & Perkebunan SPSI Sumut, yang informasinya tanpa melalui koordinasi dan diskusi dengan serikat buruh perkebunan lain yang ada di Sumut. Praktek ini sudah berlangsung lama bagi buruh kebun. Konon sejak awal mulai diterapkannya kebijakan upah minimum itu sendiri.
Ketika pertamakali membaca resolusi bersama itu (saya mendapatkan melalui e-mail dari seorang kawan), hati saya bergetar. Atas hak apa pengurus serikat pekerja tersebut membuat kesepakatan yang memberi jalan agar pengusaha membayar upah buruh lebih rendah dari UMK? Atas alasan apa mereka melarang buruh dan keluarganya untuk menikmati upah lebih besar, meskipun itu juga masih tergolong minimum?
Saya bisa merasakan betapa para buruh kebun, dengan penuh harap akan ada perubahan saat menandatangani resolusi yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Utara, yang salah satu tembusannya ditujukan kepada Forum Komunikasi Aliansi Serikat Pekerja/Serikat Buruh se-Jawa dan Sumatera. Sebagai bagian dari Forum Aliansi SP/SB se-Jawa dan Sumatera, saya bisa merasakan betapa sakitnya dizalimi. Cobalah Anda bayangkan. Ketika sudah bekerja dengan sepenuh tenaga, tanpa anda ketahui, ada orang lain yang membuat kesepakatan atas nama Anda, yang ‘melegalkan’ pengusaha memberikan upah lebih rendah dari yang seharusnya Anda terima. Sebodoh-bodohnya kita, tentu tidak akan membiarkan hal ini terjadi.
Jika mereka berharap, dengan resolusi itu akan ada perubahan, saya kira itu juga bukan harapan yang berlebihan. Dengan cara ini, setidaknya suara mereka akan didengar. Meskipun, seharusnya, tanpa ada rekomendasi itu, kesepakatan yang dibuat antara BKS-PPS dengan Pengurus Daerah FSP Pertanian & Perkebunan SPSI dengan sendirinya sudah batal demi hukum.
Babak Baru Pasca Resolusi
Baru-baru ini, sebuah e-mail masuk ke inbox saya. Perjuangan buruh kebun Sumatera Utara memasuki babak baru. Resolusi Bersama Forum Pekerja/Buruh Perkebunan Sumatera Utara menolak kesepakatan Bersama Badan Kerja Sama Perusahaan Perkebunan (BKS PPS) dengan FSP Pertanian & Perkebunan SPSI Sumatera Utara (terlampir) yang melawan hukum karena menyatakan bahwa upah minimum buruh kebun Sumatera Utara adalah Rp 1.090.425,-/bulan, atau lebih rendah dari upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur Sumut sebesar Rp 1.156.000,- (Kab. Batu Bara) dan Rp 1.170.000,- (Deli Serdang), telah mendapat respon balik baik dari pihak perusahaan perkebunan maupun pengurus Dewan Pimpinan Cabang FSP-PPP SPSI di Sumatera Utara.
Pasca-resolusi dibuat dan dikirimkan ke Gubernur Sumatera Utara dan ditembuskan ke BKS PPS, Ketua DPRD Sumut, Bupati-Bupati, perusahaan-perusahaan perkebunan dan beberapa oknum pimpinan serikat buruh yang memarafnya (bukan tanda tangan!), berbagai tindakan intimidasi dan tekanan dialami oleh buruh perkebunan yang ikut menandatangani resolusi tersebut. Selain dari Pengusaha, ironis intimidasi juga datang dari serikat buruh, khususnya dari FSP Pertanian & Perkebunan SPSI Sumatera Utara (!).
Pada Jum’at, 11 Maret 2011 pukul 18.00 WIB, Sdr. Ilwan Nazir Lubis, Ketua PUK F SPPP SPSI perusahaan perkebunan PT Lonsum (London Sumatera Plantation) Rambung Sialang yang juga Koordinator Forum Pekerja/Buruh Perkebunan Sumatera Utara, dijemput dari rumahnya dan diminta menjumpai manager perusahaan PT Lonsum Rambung Sialang, Sdr. Rudi Yanto Sirait. Manager perusahaan tersebut mempertanyakan resolusi yang dibuat oleh Forum, dan melarang menyebarkan resolusi tersebut kepada anggota, serta menuduh secara sepihak bahwa Ilwan ingin membelot ke SPSI versi lain dari yang sudah ada di PT Lonsum. Ia bahkan, secara sewenang-wenang, mengancam bahwa PUK PT Lonsum Rambung Sialang yang diketuai oleh Sdr. Ilwan Nazir Lubis akan dibekukan.
Anehnya, pernyataan ini dikeluarkan oleh manager perusahaan yang “isunya”adalah juga Wakil Sekretaris Jenderal DPP FSP Pertanian & Perkebunan SPSI (versi Sjukur Sarto) terpilih pada waktu Munas SPSI 2011. Padahal Sdr. Rudi Yanto Sirait tidak pernah diketahui menjadi pengurus ataupun anggota serikat FSP PP SPSI, entah bagaimana jalannya, kalau isu itu benar, ia bisa menjadi seorang ‘wakil Sekjen DPP’ sebuah organisasi buruh, yang rupanya merasa bebas mengintimidasi buruh anggotanya sendiri!
Pada 16 Maret 2011, Ilwan Nazir kembali dipanggil oleh Ketua DPC FSP PP SPSI, Sdr. M. Yahman, yang kembali mempertanyakan resolusi yang dikeluarkan oleh Forum Pekerja/Buruh Perkebunan Sumatera Utara. Yahman menganggap Ilwan Nazir telah lancang dan melangkahi DPC karena menandatangani resolusi Forum Pekerja/Buruh Perkebunan Sumatera Utara, mempertanyakan keikutsertaan Ilwan Nazir dan rekan2nya yang ikut dalam kegiatan yang diadakan oleh TURC, menganggap Ilwan ingin membelot ke kubu SPSI Jacob, dan PUK pimpinan Ilwan diancam akan dibekukan.
“Bahkan Kabar terakhir (24 Maret 2011) Surat pemecatan Ilwan Nazir dan beberapa perangkat pengurusnya sudah dikeluarkan oleh PC FSP PP SPSI Serdang Bedagai yang dikirim ke perusahaan!”
Ilwan Nazir dan rekan-rekannya yang berjuang dengan ketulusan hati demi menjalankan amanah organisasinya untuk kesejahteraan anggotanya dan kebenaran malah didzolimi!
Pada saat yang bersamaan, intimidasi yang sama juga dialami oleh Sdr. Umar, Ketua PUK SPSI Begerpang Estate PT Lonsum, Kab. Deli Serdang yang juga diancam akan dibekukan karena mengikuti kegiatan yang diadakan oleh TURC dan menandatangani resolusi.
Sementara Sdr. Syarifuddin Lubispengurus DPC SPSI Sergei juga mendapat perlakuan yang tidak jauh berbeda. Syarifuddin dipanggil oleh Ketua DPC FSP PP SPSI M. Yahman karena mengikuti Forum Pekerja/Buruh Perkebunan Sumatera Utara dan diminta untuk memilih: ‘mau tetap menjadi Pengurus DPC atau ikut dalam Forum Pekerja/Buruh Perkebunan Sumatera Utara’. Sebuah pernyataan merusak dari seorang pimpinan serikat, bukankah tujuan gerakan serikat buruh adalah persatuan? Dan tanpa persatuan hanya kekalahan yang akan selalu diperoleh buruh?
Resolusi yang pada dasarnya menuntut keadilan dan ditegakkannya hukum malah dianggap oleh DPC FSP PP Sumatera Utara sebagai pembelotan organisasi dan pemberontakan. Tidak heran jika sudah 100 tahun usia perkebunan di Sumatera Utara namun kondisi buruh perkebunan masih bahkan bertambah mengenaskan. Oligarkhi dalam tubuh serikat merajalela, tidak adanya demokrasi dan fungsi serikat yang semakin lama lebih sebagai kepanjangan tangan pengusaha adalah fenomena yang umum ditemukan di perkebunan, yang semakin memiskinkan buruh perkebunan yang hidup terisolasi jauh dari dunia luar.
Oleh karena itu, kami mengajak kawan-kawan buruh seluruh Indonesia dan jaringan yang peduli terhadap nasib buruh ikut bersolidaritas dan memberikan dukungan kepada kawan-kawan buruh perkebunan yang sedang menderita ini. Tunjukkan pada mereka bahwa Ilwan Nazir Lubis, Umar, dan Syarifuddin tidak berjuang sendirian, dan bahwa kita semua akan ikut berjuang bersama kawan-kawan ini meraih keadilan yang dirampas oleh segelintir orang yang mengatasnamakan buruh tetapi malah menindas buruh!