Puluhan buruh pabrik kompor gas yang pernah mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) ini menilai, perusahaan telah melakukan union busting atau pemberangusan serikat buruh SPRINT.
Koordinator aksi Tajudin menilai, perusahaan telah melanggar Undang Undang Nomor 21 Tahun 2000 Pasal 28, tentang serikat pekerja/buruh. “Selain pemberangusan terhadap serikat buruh SPRINT, perusahaan juga telah mem-PHK sepihak terhadap 13 karyawan,” ujar Tajudin.
Yang lebih mengagetkan lagi, kata Tajudin, mulai tanggal 2 Februari 2015 mendatang, melalui surat edaran dari pihak President Direktur PT Rinnai Indonesia Nomor PTRI/150106/GA.001, tertanggal 6 Januari 2015, perusahaan akan memberhentikan operasional pabrik tersebut. Dari situ, akan ada sekitar 1. 200 karyawan yang diputus hubungan kerja (PHK). “Jumlah seluruh karyawan semua sekitar 1.500, dan yang tersisa hanya sekitar tiga ratus orang. Itu pun yang sudah karyawan tetap,” katanya.
Direktur Produksi PT Rinnai Indonesia Katsuhiro Ito mengungkapkan, karyawan yang diberhentikan hanya yang berstatus kontrak, dan tidak diperpanjang. “Beberapa karyawan tetap sebagian akan dimutasi ke pabrik yang berada di Cikupa. Sedangkan karyawan lainnya tetap bekerja di pabrik Balaraja, untuk mengerjakan produk TL-289, serta masih ada beberapa karyawan yang tersisa yang masih harus diselesaikan,” paparnya, tanpa menjelaskan secara gambalang tentang permasalahan diberhentikan operasional pabrik tersebut.
Kepala Bidang Industrial dan Kesejahteraan Pekerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Tangerang Deni Rohdiani mengaku belum menerima laporan tersebut.“Kami belum menerima laporan terkait tidak berhenti operasinya perusahaan tersebut, apalagi tentang adanya PHK massal,” kata Dani..