Alkisah, pengusaha Negeri Ginseng itu membawa modal kerja dan order sepatu dari Adidas Group ke Indonesia pada 1991. Ia kemudian membangun PT Dong Joe Indonesia di sini.
Dong Joe berkembang pesat dan Cheon lantas melebarkan sayap dengan mendirikan pabrik sepatu PT Spotec dan pabrik keramik PT Hankook Indonesia. Pada 2005, PT Dong Joe menduduki peringkat 10 daftar pabrik sepatu terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi sebesar 4,5 juta pasang atau sekitar 12,5% dari total kapasitas produksi sepatu nasional sebanyak 563,8 juta pasang. Cheon juga memperoleh kredit investasi dari perbankan nasional sebesar Rp 333,46 miliar.
Rupanya, Cheon bukan pengusaha sejati. Ia lebih mirip dibilang sebagai petualang. Makanya, ketika mendapat duit kredit itu, bukannya mengembangkan usaha yang ditekuni, Cheon malah berpura-pura sakit dan berobat ke Korea Selatan.
Lalu, dirancanglah sebuah strategi. PT Hankook dijual kepada pihak lain pada Juli 2006. Sebelum pergi, Cheon juga menyerahkan pengelolaan PT Dong Joe kepada teman-temannya asal Korea yang ada di Indonesia. ”Diserahkan begitu saja. Sahamnya dikasih ke orang Korea,” ucap Eddy Widjanarko, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Persepatuan Indonesia (Asprindo).
Akhirnya Cheon pergi membawa dana PT Dong Joe, dana dari perbankan Indonesia, dan menelantarkan 10.500 karyawannya. PT Dong Joe menghentikan kegiatan produksinya sejak 13 Oktober 2006. PT Spotec, sister company dari PT Dong Joe, menyusul tak berproduksi.
Order Adidas Group ke PT Dong Joe dan Spotec itu akhirnya dialihkan ke pabrik lain di Indonesia, Thailand, Vietnam, dan Cina. ”Kasus ini tak memengaruhi komitmen kami untuk tetap berinvestasi di Indonesia,” kata William Anderson Head Of Social and Environmental Affairs Adidas di Asia Pasifik.
Kepergian Cheon meninggalkan utang sebesar Rp 333,46 miliar. Kucuran kredit dari sindikasi perbankan yang dipimpin Bank Rakyat Indonesia itu meliputi Rp 200 miliar untuk PT Dong Joe—dan Rp 133,46 miliar berupa kredit investasi dari Bank Mandiri untuk PT Spotec. Awal bulan ini, tunggakan PT Spotec ke Bank Mandiri tinggal Rp 99,57 miliar. Mansyur Nasution, Corporate Secretary Bank Mandiri, menuturkan, Bank Mandiri kini sedang melakukan evaluasi terhadap kredit tersebut.
Tentu saja, karyawan-karyawan Cheon yang jumlahnya 10.500 orang susah menggantungkan harapannya kepada produsen sepatu merek Reebok, Rockport, Perry Ellis, Spotec, dan Adidas ini. Mereka tak bisa berharap dari penjualan aset kedua pabrik karena sudah dijaminkan kepada bank.
”Yang jelas buruh tidak dibayar lagi dan ada ke kekhawatiran pengelola pabrik akan menjual barang-barang yang ada di pabrik,” ucap Bambang Wirayoso, Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional. Mereka kini berniat mencairkan dana jaminan hari tua yang disimpan di PT Jamsostek untuk menutupi kebutuhan sampai ada kepastian tentang nasib mereka.
Tak hanya itu, pesangon juga tak dibayarkan. Jika dihitung berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja, nilai pesangon dan tiga bulan gaji 6.500 pekerja PT Dong Joe selama dirumahkan sedikitnya Rp 82 miliar. Adapun nilai pesangon pekerja PT Spotec diperkirakan sedikitnya Rp 24 miliar. Total yang harus diberikan kepada karyawan sebesar Rp 106 miliar.
Para buruh tak berharap pesangon. Maunya mereka, kedua pabrik sepatu itu dapat beroperasi kembali—dan mereka bisa bekerja lagi. Keinginan itu juga didukung oleh Asprindo. ”Saya mau ngomong kepada Duta Besar Korea Selatan agar pengusaha Korea lainnya mau ikut mengumpulkan uang untuk take offer pabrik dan menjalankannya kembali. Sebab, banyak perusahaan Korea yang beroperasi di Indonesia dan ukurannya cukup besar,” terang Eddy.
Harapan senada juga diungkapkan oleh Agus Tjahajana Wirakusumah, Sekretaris Jenderal Departemen Perindustrian. Departemennya akan mengajak departemen terkait untuk membahas masalah ini. ”Yang penting buat kita adalah bagaimana tenaga kerja diselamatkan dan dapat bekerja kembali,” ujar dia.
Tentu, harapan itu tak mudah terlaksana. Sebelum-sebelumnya, kasus serupa juga pernah terjadi—dan buruh tetap saja telantar. Pada tahun 2004, pemilik PT Victoria Garmen Indonesia kabur dan menyisakan masalah perburuhan. PT Singacom dan Singamip di Batam juga ditinggal pergi pemiliknya dengan menelantarkan ribuan karyawannya pada 2005. Terakhir, kaburnya Keluarga Tanudjaja yang meninggalkan kasus kredit macet Rp 200 miliar dari Bank Mandiri dan obligasi sebesar Rp 400 miliar plus ribuan tenaga kerja.
Pemerintah juga sulit untuk diharapkan. Agus Tjahajana menuturkan, wewenang Departemen Perindustrian hanya menyangkut perizinan. Kalau mereka melanggar, izinnya bakal dicabut. Soal utang yang ditinggalkan? ”Itu sih terikat dengan bank dan pengadilan.”
Jadi hanya itu? o
KERIKIL DI INDUSTRI SEPATU
SEJATINYA, industri alas kaki di Indonesia cukup menjanjikan. Dari tahun ke tahun, kinerja ekspor sepatu meningkat. Ekspor sepatu tahun 2002 sebesar US$ 1,148 miliar, tahun 2004 menjadi US$ 1,320 miliar, tahun 2005 US$ 1,5 miliar, dan tahun 2006 diprediksikan mencapai US$ 1,8 miliar.
Selain itu, peluang industri sepatu terbuka setelah Uni Eropa menerapkan antidumping terhadap produk alas kaki dari Cina dan Vietnam. Akibatnya, banyak buyer yang melirik Indonesia. ”Saat ini order melimpah dan banyak investor yang ingin berinvestasi di sektor ini,” kata Eddy Widjanarko, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Persepatuan Indonesia (Asprindo).
Nyatanya, tak sedikit investor yang balik badan. Menurut Eddy, ada beberapa kendala investasi mendirikan pabrik alas kaki di Indonesia. Antara lain, UU Tenaga Kerja yang masih belum kondusif. Dia mencontohkan masalah pensiun, pesangon, dan kesejahteraan. ”Ini yang membuat investor berpikir ulang untuk berinvestasi,” ucap dia.
Selain itu, infrastruktur di Indonesia belum memadai dan harganya cukup mahal. Eddy memberi contoh, untuk membuat pabrik sepatu baru, listriknya tidak ada. Nah, untuk mengadakan listrik, pengusaha harus menyewa melalui pihak ketiga. Masalahnya lainnya ada di perizinan. Untuk mengurus izin usaha, dulu tak sampai enam bulan. Kini, bisa sampai setahun.
Tak hanya itu. Bea Cukai juga dinilai Eddy turut menghambat masuknya investor baru ke Indonesia. Contohnya, ketika Asprindo meminta pengetatan impor sepatu dari Cina, Bea Cukai memenuhinya. Namun, impor bahan baku juga diperketat. Untuk mengeluarkan bahan baku dari pelabuhan diperlukan waktu satu pekan.
Industri bahan baku sepatu juga susah berkembang di Indonesia. Penyebabnya, industri bahan baku dikenai PPn sebesar 10%. Padahal, untuk impor hanya kena bea masuk 3%. Nah, daripada mendirikan pabrik bahan baku sepatu, pengusaha lebih untung mengimpor.
Bila hambatan tersebut tidak segera dihilangkan, investor akan mundur lagi. Bahkan saat ini sudah banyak investor yang mengalihkan investasinya ke negara India. Buktinya, nilai ekspor alas kaki India tahun lalu mencapai US$ 1,5 miliar, sama dengan nilai ekspor Indonesia. Saat ini nilai ekspor India telah tumbuh menjadi US$ 3 miliar. ”Bisa diartikan, banyak investor yang mampir ke India,” kata Eddy. o
Sumber Berita :http://www.majalahtrust.com/ekonomi/sektor_riil/1033.php